Jan 26, 2016

Tanaman Pepaya Jepang?


Diperbarui ― November 2017: Setelah hampir dua tahun berlalu dan saya sendiri juga sudah tidak menanam pepaya jepang lagi, akhirnya rasa penasaran akan nama asli dan asal usul tanaman ini pun terjawab. Mei lalu, kebetulan postingan ini dibaca oleh salah satu penpal saya yang berbaik hati memberikan info sekaligus mengoreksi postingan ini. Alhamdulillaah.
*
*
Sekadar kilas balik, awal Desember 2015, kami dibawakan sekitar sepuluh batang tanaman pepaya jepang. Kala itu, daun pepaya jepang memang masih asing terdengar di telinga. Dari tampilan luar, daunnya mirip sekali dengan daun pepaya (Carica papaya) dengan ukuran yang tidak begitu besar dan lebar. Secara umum daunnya digunakan untuk memasak, seperti untuk campuran tumis ikan teri, direbus sebagai lalapan, dibuat sayur dan urap. Saat dikonsumsi, daun ini tidak terasa pahit layaknya daun pepaya biasa dan lebih mirip daun singkong, meskipun teksturnya sendiri menurut saya lebih renyah, empuk dan tidak alot. Waaah.. bisa jadi pengganti daun pepaya pahit, daun singkong dan sayuran hijau lainnya nih. Berhubung sudah dibawakan batang pepaya jepang tadi, maka ibu saya berkeinginan untuk menyetek batang-batang tersebut. Batang tanaman lalu dipotong menjadi dua bagian dengan panjang sekitar 30 cm dan dengan berbekal tiga buah pot berdiameter 25 cm, langsung saja kami tancap mereka di pot berisi campuran tanah dan kompos. Awalnya saya skeptis tanaman ini bisa tumbuh melalui stek batang, karena jujur saja saya belum pernah mendengar pohon pepaya hasil stek. Namun seminggu kemudian, batang tersebut sudah ditumbuhi daun-daun baru loh dan inilah mereka saat usia tiga minggu.

Stek pepaya jepang. Sayangnya, pot yang kiri mati karena busuk akibat hujan terus menerus.
Dalam kurun waktu 1,5 bulan setelah stek, daun sudah bisa dipetik dan selanjutnya bisa dipanen setiap bulan. Meskipun terlihat langsing, akan tetapi batangnya kokoh dan daunnya cukup rimbun. Karena ditanam di pot dan sering dipangkas (dipanen), tanaman ini tidak tumbuh terlalu tinggi. Menurut pengalaman saya menanam pepaya jepang di pot, tanaman ini tidak membutuhkan perawatan khusus dan pemeliharaannya cukup mudah, bisa tumbuh dengan baik dan tahan terhadap cuaca panas atau hujan. Penyiraman dilakukan sebanyak dua kali sehari pada cuaca terik, sementara pupuk kandang atau pupuk lepas lambat (slow release fertilizer) seperti NPK dapat diberikan setiap sebulan sekali dengan dosis menyesuaikan ukuran pot. Selain itu, juga tidak dijumpai hama atau kutu pada tanaman. Oh iya sekadar mengingatkan, saat panen sebaiknya jangan sampai terkena getahnya karena dapat menimbulkan rasa perih dan gatal, terutama bila mempunyai kulit sensitif. Namun jangan panik, cukup cuci bagian kulit yang terkena getah dengan sabun dan rasa gatal tersebut akan  berangsur hilang.

*
*
*

Baiklah. Agar tidak salah kaprah, postingan ini saya perbarui per November 2017 untuk meluruskan info yang kurang tepat mengenai pepaya jepang.

Ternyata tanaman ini aslinya bernama chaya atau bayam pohon (tree spinach) dengan nama ilmiah Cnidoscolus aconitifolius (nah, ribet kan).

Chaya atau yang di negara kita lebih dikenal dengan istilah pepaya jepang, bukan merupakan jenis pepaya dan bukan berasal dari Jepang. Bisa dimaklumi karena bentuk daunnya yang mirip daun pepaya, tapi entahlah dari mana asal muasal dinamakan pepaya jepang; mungkin agar terlihat lebih keren dan menarik di pasaran, seperti halnya buah pepaya bangkok (sukma) dan california (callina) hasil pemuliaan tim dosen IPB yang diklaim oleh para pedagang dan dijual di supermarket sebagai buah impor dari Thailand dan Amerika. Hehehe, ada-ada aja ya. Sayangnya, masih banyak yang belum mengetahui hal ini loh. Ini menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia masih lebih tertarik mengonsumsi buah impor. Saya dulu juga begitu kok, tapi setelah mendapat info ini, rasanya kita patut berbangga karena keduanya ditanam oleh petani buah lokal dan rasanya lebih unggul dibandingkan buah impor. (yak, mulai ngawur dari pembahasan)

Dikutip dari berbagai sumber, chaya diyakini berasal dari Semenanjung Yucatán, Meksiko, Amerika Tengah dan selama berabad-abad, chaya adalah makanan favorit bangsa Maya. Chaya merupakan tumbuhan semak menahun (perennial shrubs) yang tumbuh cepat dan besar, dan kini mulai dibudidayakan di seluruh dunia. Chaya terdiri dari beberapa subspesies dan varietas. Ada yang tumbuh liar dengan duri halus (chaya brava); ada pula yang sudah dibudidayakan dan tidak berduri (chaya mansa). Grup kultivar Chayamansa dibagi menjadi empat kultivar menurut morfologi daunnya, yakni 'Chayamansa', 'Estrella', 'Picuda', dan 'Redonda' (sepertinya yang kami tanam adalah kultivar 'Picuda' deh, namun entahlah). Itulah sebabnya mengapa sering kita jumpai daun chaya yang berbeda satu sama lain. Chaya sendiri berkerabat dekat dengan spesies dari genus Manihot (misalnya singkong) dan spesies dari genus Jatropha (misalnya jarak pagar) yang semuanya masih dalam satu familia, yakni Euphorbiaceae. Sehingga tidak mengherankan bila batang chaya dipotong, ia akan mengeluarkan getah putih yang gatal dan menyengat (bagi sebagian orang), seperti yang sudah saya tulis di atas. Disarankan untuk memakai sarung tangan saat panen dan memangkas. Chaya dapat tumbuh setinggi tiga meter, bahkan mencapai lima hingga enam meter, tapi biasanya dipangkas menjadi kurang dari dua meter agar lebih mudah saat dipanen.

Karena menurut sebagian orang rasanya mirip seperti bayam, maka chaya juga dikenal dengan sebutan bayam pohon (tree spinach). Namun untuk urusan nutrisi, chaya memiliki kandungan zat besi lebih banyak daripada bayam dan merupakan sumber kalium, kalsium dan vitamin A yang baik. Bahkan, chaya digadang sebagai salah satu sayuran dengan kandungan nutrisi terbanyak di dunia dan menjadi makanan super (superfood) yang banyak dicari. Dilansir dari laman mexconnect.com, mengonsumsi daun chaya dapat melancarkan sirkulasi darah, memperbaiki pencernaan, menurunkan kadar kolesterol dan gula darah, mencegah anemia, dan masih banyak lagi khasiat lainnya. Seperti halnya singkong, chaya juga mengandung senyawa beracun glikosida sianogenik dalam jumlah yang bervariasi. Glikosida sianogenik dapat diproses dengan cepat oleh enzim dalam tubuh dengan mengubahnya menjadi hidrogen sianida (HCN). Oleh sebab itu, chaya menjadi salah satu makanan yang berbahaya apabila disantap dalam keadaan mentah. Eits, jangan khawatir dulu. Untuk menetralkan toksin tersebut, rebus daun chaya paling tidak selama lima menit (paling disarankan 15-20 menit), sehingga daun pun menjadi aman untuk dikonsumsi. Pastikan pula panci atau wajan yang digunakan bukan terbuat dari aluminium, agar menghindari kemungkinan terjadinya reaksi toksik yang dapat menyebabkan diare. Menurut beberapa sumber pula, air rebusan daun chaya mengandung banyak vitamin dan mineral, terutama vitamin C. Lalu bagaimana dengan HCN tadi? Tenang, HCN akan menguap sebagai gas dan air rebusan pun aman untuk diminum sebagai teh hangat atau dapat dijadikan kuah/kaldu masakan (walaupun hal ini masih menjadi perdebatan bagi sebagian orang akan kekhawatiran mereka mengenai toksin yang tersisa tersebut). Untuk lebih amannya lagi, saat merebus sebaiknya tutup panci atau wadah dibuka agar HCN yang menguap tidak tertampung di dalamnya. Bila belum cukup juga, hindari menghirup uap yang dihasilkan saat memasak chaya. Meskipun belum terdengar kasus keracunan akibat mengonsumsi chaya, tapi tidak ada salahnya untuk lebih berhati-hati. Asalkan tidak dikonsumsi dalam jumlah yang besar dan berlebihan, pasti akan aman-aman saja. Banyak sekali loh resep yang dapat dicoba untuk mengolah daun chaya, mulai dari sup, sayur, nasi goreng, pasta spageti, salad, lasagna, hingga pizza. Selain masakan, daun chaya juga dapat dikonsumsi sebagai minuman, seperti teh, jus, smoothie, dan sebagainya, namun tentu saja harus direbus terlebih dahulu karena masih terjadi silang pendapat untuk mengonsumsi daun chaya dalam kondisi mentah.

Pindahkan ke pot yang lebih besar.
Chaya tidak menghasilkan biji, buah, dan umbi; biasanya hanya berbunga putih yang kemudian berubah menjadi polong (seed pod) dan nanti akan rontok dengan sendirinya. Pembiakan (propagasi) tanaman ini dapat dilakukan melalui metode stek batang saja. Untuk menanam sendiri di rumah, cukup dengan menyetek batang chaya sepanjang 15 hingga 60 cm di pot atau langsung di tanah. Buang semua daunnya dan siram secara teratur. Jangan menyiram secara berlebihan karena dalam kondisi tersebut, batang stek rentan busuk. Chaya menyenangi sinar matahari penuh pada iklim tropis, dapat tumbuh baik pada temperatur 25° C atau lebih, dan pada ketinggian 0 hingga 1000 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini mampu tumbuh di segala jenis tanah dan kondisi lingkungan. Pupuk tidak begitu diperlukan, namun apabila dipupuk dan disiram dengan baik, chaya akan memproduksi daun yang lebih lebat. Beri jarak tanam sekitar 1-2 m bila ditanam di lahan atau pot, tapi jika ingin dijadikan pagar hidup cukup beri jarak 1 m antara tanaman.

Bunga chaya
Tidak sulit kan menanam pepaya jepang chaya? Sekarang sudah banyak tersedia kok di pasar tradisional dengan harga kisaran di bawah sepuluh ribu rupiah per ikat, lalu coba deh tanam sendiri dari batangnya. Bahkan bibit dan batangnya sudah diperjualbelikan online loh oleh penjual bibit lokal dengan harga yang (menurut saya) agak lumayan mahal untuk satu batang chaya. Selain dijadikan tanaman pagar dan ornamental, chaya juga bisa ditanam di pot karena perawatannya yang sangat mudah. Semoga postingan kali ini dapat menambah sedikit pengetahuan teman-teman tentang pepaya jepang yaa.. eh, chaya! ☺

Bagi yang ingin sekadar membaca info mengenai chaya, berikut saya lampirkan beberapa pranala sumber:
- Chaya
- Chaya brochure - Miracles In Action
- Chaya, the Maya miracle plant
10 Food You Should Never Eat Raw
- Cooking Chaya?
Khasiat Daun Chaya
Chaya: The Spinach Tree
Chaya - Mayan Tree-Spinach, Cabbage Star


Share:

Jan 5, 2016

Book of the Week: Eleanor & Park by Rainbow Rowell

Title: Eleanor & Park
Author: Rainbow Rowell
Publisher: St. Martin's Press
Year Published: 2013
Format: Hardcover (328 pages)
Goodreads rating: 4.15

Jacket copy:

Two misfits. 
One extraordinary love. 

Eleanor... Red hair, wrong clothes. Standing behind him until he turns his head. Lying beside him until he wakes up. Making everyone else seem drabber and flatter and never good enough...Eleanor.

Park... He knows she'll love a song before he plays it for her. He laughs at her jokes before she ever gets to the punch line. There's a place on his chest, just below his throat, that makes her want to keep promises...Park.

Set over the course of one school year, this is the story of two star-crossed sixteen-year-olds—smart enough to know that first love almost never lasts, but brave and desperate enough to try.

Taking place in Omaha, Nebraska in 1986, Eleanor Douglas has just moved and returned home after being kicked out by her step-dad the year before. She is described as a chubby, oddly dressed and plain redhead. Eleanor is the new girl in school. The first day of school she gets on the bus, no one is welcoming or offering her a seat. Even they call her 'big red'. The only seat available is the one next to Park, who is --somewhat grudgingly and possibly pity-- forced to share his seat. Park Sheridan, is half-Korean (Irish dad, Korean mom) who is always dressed in black with headphones in his ears and a comic book in hand. For a long time, they don't talk. After many weeks of sitting side by side in awkward silence everyday, one day Park notices Eleanor reading his comic books over his shoulder. He starts lending them to her and she stays up all night, reading them. Overtime, they bond over comic books and music, and their relationship begin to grow.

***

Eleanor & Park is the first young adult novel by Rainbow Rowell published in 2013. I'd always heard about this book and finally took the time to read it. This is my first Rainbow Rowell book, so I didn't know what to expect. Set in the author's hometown in 1986, Eleanor & Park is told from an alternating, third-person narrator point of view which reminds me of one of my favorite novels, Flipped.

This book.. where to start. First things first, I can't believe that I finished it. This one took forever to read, almost two months. Eleanor & Park is one of the worst reading experiences I've ever had. So, here we have Eleanor and Park who are not like your typical young adult romantic interests. Just two regular kids who have never really been in love before. Eleanor and Park seems likable at the beginning, but as it goes on I keep on thinking 'Why do you even like Eleanor, Park? Why? Why??'

Eleanor is simply rude and effing annoying. She has issues with her insecurities, yet never overcame them. She is always mad at Park about something, I mean he is so nice to her.. what's wrong with you, Eleanor? She doesn't seem to love Park as much as he loves her and it is not explained why.

And Park. The first thing that comes across my mind is 'Isn't Park a Korean surname?' But in this book, Park is his first name. Why would a Korean mother name her child a surname? I don't get it. Well, I liked Park at first, really I thought he was cute until he blamed his Asian genes for screwing everything up and insecure about his Korean heritage.

I just don't connect with them or any of the side characters at all. There is no character development. Eleanor's family, ugh I don't even have words for. Glad that Park has a relatively normal family, as far as I could remember.

The love story between Eleanor and Park is.....meh. It's not bad, no, may be just not my cup of tea. I understand that teens fall in love quickly, but saying "I love you" after just a short time of hardly being friends? Insta-love! Keep in mind they never say a word or even look at each other the whole time. They even barely acknowledge each other. For me, their whole relationship is weird. It turns out to be more like an unhealthy obsession over one another. There are so many cheesy lines that make me outright cringe and roll my eyes at their stupidity.

At one point, this is what Park feels when he holds Eleanor's hand for the first time:
Was it possible to rape somebody's hand?
Of course. Nothing is impossible, Park.

And Eleanor's:
It was the nicest thing she could imagine. It made her want to have his babies and give him both of her kidneys.
I don't think I even breathe when we're not together," she whispered. "Which means, when I see you on Monday morning, it's been like sixty hours since I've taken a breath.
“And because I’m so out of control, I can’t help myself. I’m not even mine anymore, I’m yours, and what if you decide that you don’t want me? How could you want me like I want you?”
And you make me feel like a cannibal. You're crazy.
Maybe Park had paralyzed her with his ninja magic, his Vulcan handhold, and now he was going to eat her. That would be awesome.
Don't bite his face, Eleanor told herself. It's disturbing and needy and never happens in situation comedies or movies that end with big kisses.

Yup. Eating each other's faces.

‘That’s how good it felt. She was like one of those dogs who’ve tasted human blood and can’t stop biting. A walrus who’s tasted human blood’. 


I also can't stand the fact that there are a lot of casual racism and creepy fetishizing moments in this book. Eleanor mentions it so often that it seems she's fetishizing Park's half-Asian heritage. She keeps talking about Park's magical eyes and his light “honey-colored” skin, that he is too perfect in every sense. All their love is literally a fetish. Park is also labeled under the Asian stereotypes as the emasculated Asian man, good at math and does taekwando (for heaven's sake the author misspells taekwondo for 14 times). While Park's mom is stereotyped as tiny, petite, skinny, and speaks poor English with an accent as well.

Park's eyes got wide. well, sort of wide. Sometimes she wondered if the shape of his eyes affected how he saw things. That was probably the most racist question of all time.

No shit yes, it is.

The third person point of view from two characters' perspectives is so puzzling. It changes so quickly and makes me confused. I'm getting tired of "he said" and "she said" that are so overused here. The plot is thin, underdeveloped and borrring. It makes no sense. The connections between characters, plot-lines, and settings all seem pointless. Moreover, it has a lot of swear words although it gets less and less as the story goes on. Yuck, I don't get offended by swearing, I actually prefer it. I get that teenagers swear, but the use of those words in the first three pages is way over done.

The ending, however, leaves me feeling unfulfilled, ~sigh~ probably because that is the way a good novel should end. It doesn't move forward at all until the very end. The situation remains unresolved for readers. I don't even care about those ‘three words’ tho.

For all the hype this book received, I'm rather disappointed. Ew, this book doesn't even have deeper meaning. It feels way too cheesy and cliché for me. Maybe I'm too old for this sort of books or it's just not my kind of thing I guess. Just don't waste your time, especially if you're over 20.
All in all, this serves one star for me. I feel like I am being harsh, but this is only my opinion. I would recommend this book to no one, not even for curiosity's sake. Just no.
Share:

Total Pageviews